SEJARAH GEREJA DI INDONESIA SEJAK Thn.1930-Kini.
Sumber: Zakharia Ngelow
Sumber: Zakharia Ngelow
Setelah membaca/membahas/berinteraksi bab ini mahasiswa mampu:
Ø Menjelaskan
Gereja dan pergerakan Nasionalisme
Ø Menjelaskan
Gereja pada masa pendudukan Jepang
Ø Menjelaskan
Gereja di masa perang kemerdekaan RI
Ø Menjelaskan
Gereja Indonesia yang bertumbuh sejak 1950
Materi Pembahasan:
8.1. Gereja
dan Pergerakan Nasionalisme (1930-1941)
Kekristenan dan Nasionalisme : Zakharia Ngelow
Theodoran
Muller Kruger, 70 thn memperingati Usia Prof. Dr. Th. Muller Kruger
Menurut Fridolin ukur, munculnya gerakan
Nasionalisme atau keinginan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari jajahan
turut mempengaruhi Gereja atau orang-orang Kristen di Indonesia dalam dua hal:
Pertama,
semangat nasionalisme menyebabkan orang-orang Kristen (jemaat-jeamaat) untuk
bersatu dan membentuk suatu gereja yang berdiri sendiri. Semangat yang
dikobarkan untuk membebaskan diri dari penjajahan serta mengatur diri sendiri
ikut pula menunjang cita-cita kearah otonomi gereja, yang bebas dari dominasi
para misionaris (M.A. Ihromi, penyuting, 1979,71).
Usaha kearah
pembentukan gereja yang berdiri sendiri tidak selalu berjalan lancar, karena
dari pihak zending umumnya berpendapat bahwa jemaat-jemaat di Indonesia belum
cukup dewasa untuk memikul tanggung jawab sendiri. Tetapi dari pihak
jemaat-jemaat atau Gereja-gereja di Indonesia menyatakan justru demi
mempercepat proses pendewasaan dan kedewasaan ini maka perlu gereja-gereja di
Indonesia diberi kesempatan dan kemungkinan untuk mengatur diri sendiri,
bersaksi9 dan melayani sendiri. Maka mulai tahun 1930 dan selanjutnya,
gereja-gereja di Indonesia menyatakan dirinya sebagai gereja yang berdiri
sendiri, seperti: HKBP (1930), GKJ dan GKJW (1931), GKP, GKI Jatim, GMIM
(1934), GKE, GPM, GKKB (1935), BNKP (1936), GBKP dan GKPB (1941). Tetapi
adapula gereja yang berdiri sendiri sebelum tahun 1930, yaitu Gereja Gerekan
Pentakosta (1924), Gereja Kristen Muria Indonesia (1926), Panguan Kristen Batak
dan Huria Kristen Indonesia (1927) (ihromi, editor, 1979:71) usaha kemandirian
tersebut di atas yang dimulai tahun 1930-1941 mengalami masalah dalam bidang
tenaga pelayanan dan kepemimpinan. Hal ini disebabkan karena pada masa zending
pembinaan tenaga pribumi kurang diperhatikan, sehingga pada waktu gereja
berdiri sendiri masih juga bergantun pada kepemimpinan para misonaris. Oleh
karena itu dimulailah pusat-pusat pendidikan para pelayan, baik oleh gereja
secara sendiri-sendiri maupun secara bersama. Dan salah satu usaha bersama
gereja Indonesia untuk pendidikan bagi tenaga pelayanan tersebut ialah
didirikanh Sekolah Tinggi Theologi (Hogere Theologische school) di Jakarta
tahun 1934, sekarang Sekolah Tinggi Theologi Jakarta yang bertempat di
Proklamasi. ( Zakharia Ngelow, ibid, Hal. 72).
Kedua, semangat
nasionalisme juga mempengaruhi jemaat-jemaat Kristen di Indonesia untuk ikut
dalam perjuangan kemerdekaan atau membebaskan diiri dari kolonialisme Belanda,
atau sebagaimana yang dinyatakan oleh Fridolin Ukur: “Sewaktu dimulainya
gerakan kebangsaan itu banyak diantara orang Kristen yang ikut aktif” didalam
perjuangan tersebut. Orang –orang Kristen yang ikut dalam pergerakan kebangsaan
sering mendapat teguran dari para misionaris bahkan ada juga yang dikucilkan
dari gereja. Hal ini menimbulkan ketegangan dan pertentangan didalam gereja,
akibatnya gereja mengalami perpecahan, seperti yang pernah dialami oleh HKBP
pada masa pergerakan kebangsaan. Orang-orang Kristen Batak yang tidak senang
dengan sikap misionaris tersebut lalu memisahkan diri dari HKBP, yaitu: HKI
(1927).
8.2. Gereja
di Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Sumber: Zakharia Ngelow
Sumber: Zakharia Ngelow
Pada
waktu terjadi perang dunia ke-2, Jerman mengadakan invasi ke Belanda maka
terjadi pula perubahan yang hebat di Indonesia. Pihak Belanda menahan semua
orang asing warga negara Jerman termasuk para misionaris Jerman di tahan.
Akibatnya gereja-gereja di Indonesia yang mempergunakan tenaga-tenaga
misionaris Jerman dan Swis mulai mengalami pukulan pertama. Gereja-gereja yang
mempergunakan para misionaris Jerman dan Swis adalah gereja-gereja di Sumatera
Utara dan Kalimantan. Tidak lama kemudian tentara Jepang berhasil menguasai
wilayah Indonesia, maka terjadilah perubahan ke-2. semua warga negara Belanda dan
sekutunya (termasuk misionaris) ditawan loleh pihak Jepang. Gereja di Indonesia
pada waktu itu mulai masauk dalam suasana berikutnya dibawah kekuasaan Jepang.
Pemerintah Jepang mulai melarang berhubungan dengan dunia Barat (Eropa).
Kecuali misiobnaris Swis dan Jerman (Jerman adalah sekutu Jepang waktu itu).
Misionaris dari Swis dan Jerman diizinkan untuk sementara melayani di
Indonesia, tetapi kemudian diangkut oleh Jepang untuk dikembalikan ke tanah air
mereka. Namun banyak juga misionaris yang dibunuh oleh tentara Jepang karena
dengan tuduhan bersekutu dengan Belanda dan ikut dalam kegiatan mata-mata
Belanda.
Sebelum
Jepang menguasai Indonesia ada
Gereja-gereja yang telah berdiri sendiri, namun ada pula Gereja/kebanyakan gereja
yang masih bergantung pada
bantuan misionaris. Sehingga waktu Jepang
berkuasa diIndonesia maka gereja yang masih bergantung padabantuan
Zending atau misionaris mengalami kesulitan.
Dalam keadaan ini Gereja dipaksa untuk memikul seluruh tanggung jawab termasuk tanggung jawab
pembiayaan. Bila sebelumnya para pelayan Gereja mendapat gaji dari khas sentral yang dibantu oleh pihak Zending, maka didalam
proses periode ini hal ini tersebut
tidak dilaksanakan. Melalui tiap-tiap
jemaat yang mengusahakan keuangannya sendiri dan membiayai para pelayan tanpa bantuan dari luar, yaitu
dari para misionari Eropa. Dalam situasi ini, pada suatu sisi gereja menghadapi
keprihatinan tetapi pada sisi lain
pereistiwa ini telah membantu gereja untuk bertumbuh secara dewasa. Dalam situasi ini nyatalah bahwa Yesus
Kristus Raja gereja tetap memerintah Gereja-Nya.
Selain
kondisi diatas, pemerintah Jepang juga menyita harta memiliki gereja dan dijadikan menjadi miliki Negara. Harta milik Gereja seperti :
sekolah-sekolah, rumah sakit, bahkan gedung gerejapun ada yang disita, ini
disebabkan karena pada waktu itu sebagaian besar harta miliki gereja itu belum sempat dialihkan ke status hukum untuk
menjadi miliki Gereja, sehingga
berdasarkan surat-surat resmi harta
miliki Gereja masih atas nama badan zending. Kenyataan tersebut menjadi alasan pihak
Jepang menyitanya, karena
dianggap milik asing. Peristiwa ini juga
menjadi pelajaran Sejarah bagi kita.
Setelah Jepang kalah, maka semua gedung gereja yang disita oleh
Jepang berlangsung diambil Alih oleh pemerintah Republik Indonesia,
namun proses pengembalian kepada gereja
oleh pemerintahpun mengalami waktu yang
panjang, malah sampai dengan sekarang
ini masih ada gedung-gedung sekolah
ataupun rumah-rumah sakit sakit yang belum dapat dikembalikan kepada gereja
(Ibid,hlm.76). tekanan lain yang pernah
dilakukan Jepang kepada Gereja waktu itu adalah larangan beribadah, hal
ini dapat diatasi setelah datangnya pendeta-pendeta dari gereja Kristen Jepang
( Keyodan). Misalnya dijawa Barat, berkat campur tangan pendeta tentara,kolonel
Nomachi, Gereja mendapat surat dari pemerintah sehingga memungkinkan Gereja
Kristen Pasundan ( GKP) dapat bergerak lagi tanpa ganguan dari pihak masyarakat
maupun dari pihak pemerintah Jepang. Jadi kehadiran pendeta-pendeta Gereja
Kristen Jepang ( Kiyadon) banyak sekali membantu kehidupan gereja-gereja di
Indonesia selama masa pendukung Jepang. Pendeta-pendeta tersebut menjadi perantara antara gereja dengan pihak
pemerintah Jepang.
Pekabaran
Injil pada waktu dilarang, yang
diperbolehkan adalah hanyalah ibadat hari minggu dan katekisasi bagi para
pemuda Kristen. Setiap pendeta atau pejabat
gereja harus membuat laporan kekantor di masing masing propinsi tentang
pekerjaan atau kemana mereka pergi . namun
gereja tetap melaksanakan
pekabaran Injil . pada masa it pekabaran Injil dilakukan oleh setiap
warga gereja dan tidak bergantung kepada pejabat gereja yang sedikit
banyak dibatasiruang gerak mereka. Disini kita juga mendapat
pelajaran Sejarah ketika pemimpin
dibatsi maka warga negara terlibat dalam kegiatan misi gereja.
Pergumulan
teologis yang sangat berat yang dihadapi
gereja pada pendukung Jepang adalah adanya pemaksaan agar semua orang
dalam setiap upacara harus terlebih
dahulu menghadap kesebelah Timur matahari terbit,
lalu tunduk meyembah kaisar Jepang. Peraturan ini mau dikenakan juga
dalam setiap permulaan kebaktian dirumah gereja. Dalam hal ini gereja-gereja
menolak sehingga menimbulkan ketegangan. Akhirnya berkat campur tangan para
pendeta Jepang peraturan tersebut tidak dikenakan dalam kebaktian-kebaktian
dinegara, tetapi dalam upacara-upacara
umum hal tersebut tetap dilaksanakan. Pengalaman pahit gereja dalam pendukung jepang membawa gereja pada
kedewasaan. Gereja menjadi dewasa melalui penderitaan. Dikatakan demikian
karena tantangan pada masa pendukung Jepang Justru tidakmembuat gereja
hilang atau melemahkan gereja tetapi
justru sebaliknya gereja menjadi sadar
akan tugas dankewajibannya yaitu lebih berani memberitakan Injil dan lebih
mampu membiayai seluruh pembiyaannya yaitu lebih berani memberitakan Injil dan
lebih mampu membiyai seluruh pembiyaan Gereja.
8.3.
Gereja
di masa perang Kemerdekaan RI (
1945-1950)
Pengalaman
dan kehidupan gereja di masa pendudukan Jepang sangat menetukan dan
mempengaruhi jalannya sejarah gereja-gereja di Indonesia dalam periode
sesudahnya. Pada waktu Jepang menyerah
kepada sekutu pada tanggal 14 Maret 1945 maka berakhirlah penindasan dan
penjajahan Jepang atas Indonesia.
Bersmaan dengan itu usaha dan semangat bangsa Indonesia
untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dan tanah air sudah mencapai
taraf kematangannya, yang berpuncak dengan Proklamasi kemerdekaan pada tanggal
17 Agustus 1945. Namun datangnya tentara Sekutu yang menggantikan Jepang,
kemudian disusul dengan kembalinya Belanda untuk menjajah lagi bangsa
Indonesia, telah mengakibatkan bentrok fisik yang berkembang menjadi Perang
Kemerdekaan.
Dalam masa pendudukan Jepang Gereja-gereja Indonesia yang
telah cukup matang dipersiapkan di masa pendudukan Jepang sepenuhnya sadar
bahwa perjuangan untuk memperioleh kemerdekaan bangsa itu adalah tanggung jawab
dan tugas seluruh rakyat Indonesia. Dan orang Kristen sebagai bagian integral
dari bangsa ini sepenuhnya ikut pula bertanggung
jawab. Sejak semula, ketika diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, orang
Kristen sepenuhnya sudah terlibat dalam perjuangan rakyat ( Ihromi dan Wahono,
1979 :79)
8.4.
Gereja
yang bertumbuh/ tinggal landas ( 1950-kini)
Alasan perhitungan pertumbuhan Gereja Indonesia oleh
para ahli sejarah Gereja dimulai sejak tahun 1950, karena sejak tahun itu
terjadilah beberapa hal berikut ini yang nanti menjadi ukuran pertumbuhan
tersebut. Peristiwa-peristiwa itu, seperti:
Ø
Pembentukan
Dewan Gereja-gereja di Indonesia. Dewan Gereja-gereja di Indonesia didirikan
pada tanggal 25 Mei 1950, bertepatan dengan perayaan Hari Raya Pentakosta.
Anggota DGI pada waktu itu berjumlah 29 denominasi, dan dalam perkembangan
selanjutnya Gereja-gereja aliran Pentakosta pun menjadi anggota DGI atau
sekarang PGI
Ø
Peristiwa-peristiwa
yang terjadi di Indonesia. Ada peristiwa yang berdampak pada pertambahan
anggota gereja tetapi ada juga peristiwa-peristiwa yang berdampak pada
berkurangnya anggota Gereja.
Peristiwa-peritiwa
yang dimaksud, yaitu:
Peritiwa
Gerombolan DI-TII (1950-1962) beberapa Gereja di wilayah seperti Jawa Barat,
Sulawesi dan Kalimantan Selatan. Peristiwa ini mempengaruhi merosotnya atau
berkurangnya Gereja di wilayah-wilayah yang dikuasai DI-TII, di Toraja sekitar
70.000 orang Kristen mengalami terror gerombolan bersenjata, termasuk paksaan
untuk beralih agama.
Pengembalian
wilayah Irian Jaya ke wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Peristiwa ini juga
pada akhirnya memberi peluang untuk perkembangan Gereja secara besar-besaran di
Irian Jaya. Karena sebelum penyerahan, usaha menuju kedewasaan Gereja di Irian
Jaya oleh zending berjalan cukup lamban
tetapi ketika Irian Jaya menjadi bagian dari wilayah Indonesia maka DGI melalui
bantuan gereja-gereja di Indonesia sangat berperan dengan baik sehingga
gereja-gereja di Irian Jaya sangat berkembang pesat. Sekedar perbandingan,
jumlah orang Kristen di Irian sebelum penyerahan ke wilayah Indonesia sebanyak
130.000 orang (thn. 1963, akan tetapi setelah Irian masuk wilayah Indonesia,
jumlah orang Kristen bertambah menjadi 360.000 (statistic thn. 1974)
Peristiwa
Gerakan 30 September 1965. Gagalnya usaha Komunis dan terjadinya banyak korban,
singkatnya situasi sedang kritis. Dalam situasi kritis ini orang tertarik
kepada Gereja karena kesaksian Gereja yang baik, sikap gereja yang tidak
memihak, mengutuk dan tidak pandang bulu, usaha Gereja membela mereka yang
tidak bersalah serta bantuan kasih tanpa memandang golongan dan agama. Semua
hal ini mempengaruhi orang menjadi Kristen. Tetapi secara tegas dikatakan
disini bahwa bila dilihat secara keseluruhan maka factor G.30 S itu bukanlah
factor yang sangat menentukan pertumbuhan Gereja.
Anjuran
pemerintah agar rakyat memilih agama yang diakui Pemerintah. Setelah gagalnya
G.30 S, pemerintah menganjurkan kepada rakyat Indonesia agar memilih salah satu
agama yang di akui Negara. Anjuran ini juga mempengaruhi orang untuk memilih
agama sesuai dengan hati nuraninya.
Selain itu pertumbuhan
Gereja sejak Indonesia sejak tahun 1950 s.d masa kini juga harus dilihat dari
perjumpaan gereja Indonesia dengan pergumulan politik, dalam pergerakan
oikumenikal, dan sikap gereja di tengah masyarakat yang menganut agama lain.
Ini penting disinggung karena gereja Indonesia yang bertumbuh adalah Gereja
Indonesia yang akan berinteraksi dengan banyak pergumulan di Indonesia.
(Ihromi, 1979 :87-91)
Evaluasi:
Mahasiswa mendiskusikan pendapat yang menyatakan:
Orang Kristen adalah penumpang gelap di Negara RI (baca: orang Kristen/Gereja
tidak berperan dalam gerakan nasionalisme dan perang kemerdekaan pada masa lampau)
Sejarah Gereja Indonesia Sejak Thn. 1930 - Kini
Reviewed by Yonas Muanley
on
9:08 PM
Rating:
No comments: